
Oleh: Ali Rosad – Pemerhati Pendidikan
Bandar Lampung,-Fenomena jual beli jabatan yang kembali mencuat di Kabupaten Deli Serdang menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan Indonesia. Betapa tidak, kursi Kepala Sekolah Dasar disebut-sebut dibanderol hingga Rp40 juta. Angka ini jelas mencederai akal sehat, sebab jabatan yang seharusnya diemban atas dasar integritas, kapasitas, dan dedikasi terhadap pendidikan justru diperjualbelikan layaknya barang dagangan.
Pertanyaan besar pun menyeruak: Mengapa jabatan kepala sekolah harus diperdagangkan? Jabatan yang semestinya diberikan melalui seleksi objektif dan profesional justru menjadi komoditas transaksi bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab. Ironisnya, praktik ini seolah menjadi rahasia umum di sejumlah daerah: jabatan bukan lagi dipandang sebagai amanah untuk mencerdaskan bangsa, melainkan sebagai ladang bisnis untuk meraup keuntungan.
Lebih memprihatinkan lagi, calon kepala sekolah yang telah berjuang puluhan tahun membina murid, mendidik dengan sepenuh hati, harus “dipaksa” menyetor uang puluhan hingga ratusan juta rupiah demi meraih jabatan. Jika kursi Kepala SD saja dihargai Rp40 juta, lalu berapa tarif yang harus dibayar untuk menjadi Kepala SMP, SMA, atau SMK? Apakah ini menandakan dunia pendidikan kita benar-benar terjebak dalam lingkaran transaksi kotor, di mana kualitas dan moralitas kalah oleh uang?
Praktik ini tidak hanya memupus harapan para guru berprestasi yang tak memiliki cukup dana, tetapi juga membunuh semangat reformasi birokrasi. Mereka yang seharusnya pantas memimpin justru tersingkir karena tak mampu memenuhi “tarif jabatan”. Akibatnya, kursi pimpinan ditempati bukan oleh yang terbaik, tetapi oleh yang memiliki isi kantong tebal. Dampak lanjutannya adalah tergerusnya mutu pendidikan yang seharusnya menjadi fondasi masa depan bangsa.
Apakah para pemberi jabatan tak memahami betapa sulitnya para guru mencari uang sebesar itu? Mereka yang setiap hari bergulat dengan keterbatasan, berusaha menyisihkan gaji demi memenuhi kebutuhan keluarga, justru dibebani pungutan tidak masuk akal. Alih-alih memberi penghargaan bagi dedikasi guru, praktik kotor ini malah menambah luka dan merendahkan martabat dunia pendidikan.
Kini saatnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Tim Saber Pungli turun tangan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di berbagai daerah, khususnya usai pelantikan kepala sekolah yang kerap menjadi momen rawan pungli. Jika tidak segera ditindak, praktik ini berisiko menjadi budaya gelap yang mengakar di tubuh pendidikan Indonesia.
Kasus di Deli Serdang seharusnya menjadi cermin dan pelajaran berharga bagi pejabat Dinas Pendidikan dan kepala daerah di seluruh Indonesia. Mereka mesti sadar bahwa jabatan adalah amanah, bukan komoditas dagangan. Pendidikan adalah gerbang peradaban bangsa, bukan ladang untuk memperkaya diri.
Sudah saatnya kita kembali pada semangat luhur: jabatan harus diberikan kepada mereka yang benar-benar layak, bukan kepada yang mampu membayar. Jika kita ingin generasi mendatang tumbuh dengan akhlak dan intelektualitas unggul, maka pintu pendidikan harus bersih dari praktik transaksional yang memalukan ini.