MARAKNYA PEMERASAN OLEH OKNUM LSM DI DUNIA PENDIDIKAN - Warta Global Lampung

Mobile Menu

Top Ads

Berita Update Terbaru

logoblog

MARAKNYA PEMERASAN OLEH OKNUM LSM DI DUNIA PENDIDIKAN

Sunday, 28 September 2025
Ilustrasi

Oleh : Ali Rosad
Pemerhati Pendidikan

Kasus dugaan pemerasan oleh oknum LSM terhadap Direktur RS Abdul Moeloek Lampung sesungguhnya hanyalah potret kecil dari fenomena yang lebih luas. Dalam dunia pendidikan praktik serupa juga marak terjadi. Tidak sedikit oknum LSM mendatangi sekolah dengan berbagai alasan klasik : meminta uang bensin, beli ban karena pecah, biaya anak masuk rumah sakit, biaya istri melahirkan, biaya hajatan, hingga tunggakan listrik rumahnya. Jika permintaan itu tidak dipenuhi maka ancaman halus mulai dimainkan, seperti “akan diberitakan” atau “akan disebarkan ke media”.

Kondisi ini membuat kepala sekolah sering berada dalam posisi sulit. Pada satu sisi, mereka ingin menjaga nama baik sekolah, kenyamanan guru, serta keamanan jabatannya. Namun di sisi lain, ada tekanan psikologis bahwa jika tidak mengakomodasi permintaan tersebut, sekolah akan dirugikan secara publikasi. Akhirnya negosiasi pragmatis dilakukan : memberikan sejumlah uang demi meredam ancaman. Sayangnya, praktik ini justru menciptakan lingkaran setan pemerasan yang terus berulang.

Pertama, dari perspektif kepala sekolah. Kepala sekolah seharusnya tegas menolak praktik pemerasan. Ketakutan berlebihan justru membuat posisi tawar sekolah lemah. Solusi konkret adalah dengan selalu mengedepankan transparansi administrasi sekolah, baik penggunaan dana BOS maupun dana komite. Dengan keterbukaan ini, ancaman publikasi “buruk” tidak lagi menakutkan, karena data yang ada bisa dipertanggungjawabkan. Selain itu, kepala sekolah perlu berani melaporkan jika terdapat oknum LSM yang jelas-jelas melakukan pemerasan, kepada Aparat Penegak Hukum (APH).

Kedua, dari perspektif kepala dinas pendidikan. Kepala dinas tidak boleh bersikap lepas tangan. Kepala dinas harus menjadi tameng bagi para kepala sekolah. Jika kepala sekolah membiarkan ancaman, maka kepala dinas harus hadir sebagai pelindung institusi, bukan sekadar atasan birokratis. Kepala dinas perlu membuat mekanisme pengaduan resmi, melibatkan aparat penegak hukum, serta melakukan sosialisasi kepada kepala sekolah agar tidak takut terhadap ancaman yang berkedok “jurnalistik” atau “kontrol sosial”. Dengan perlindungan ini maka kepala sekolah tidak lagi sendirian menghadapi tekanan.

Ketiga, dari perspektif LSM itu sendiri. LSM sejatinya adalah mitra kritis pemerintah dan masyarakat. Fungsinya adalah sebagai pengawas independen demi mendorong transparansi, akuntabilitas, serta keadilan. Namun jika perannya disalahgunakan menjadi alat pemerasan, maka nama baik LSM secara keseluruhan tercoreng. Oknum-oknum seperti inilah yang perlu ditindak, sebab mereka merusak citra gerakan masyarakat sipil yang sesungguhnya mulia. LSM seharusnya hadir memberi masukan berbasis data, bukan memanfaatkan kelemahan birokrasi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

Kesimpulannya maraknya praktik pemerasan di sekolah menunjukkan persoalan serius tentang penyalahgunaan peran kontrol sosial. Kepala sekolah harus memperkuat transparansi dan berani melawan pemerasan, kepala dinas harus melindungi dan mendampingi sekolah, sementara LSM harus kembali pada khittahnya : menjadi mitra masyarakat, bukan pemeras masyarakat. AR