Jakarta, WartaGlobal.Id – Arsitek legendaris Soejoedi Wirjoatmodjo mungkin tak pernah menyangka desain gedung DPR yang menyerupai kura-kura akan menjadi simbol paling tepat bagi perilaku para wakil rakyat di Senayan. Enam puluh tahun setelah gedung itu berdiri, metafora “kura-kura dalam perahu, pura-pura tak tahu” seolah menemukan kenyataannya.
Sorotan publik kini tertuju pada langkah DPR RI menaikkan dana reses untuk periode 2024–2029 dari sekitar Rp400 juta menjadi Rp702 juta per anggota. Kenaikan hampir dua kali lipat itu, yang mulai berlaku Mei 2025, disebut oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad bukan sebagai kenaikan, melainkan “penyesuaian titik kegiatan”.
Dasco berdalih, rancangan anggaran dibuat oleh Sekretariat Jenderal DPR, bukan oleh anggota dewan. Bahkan ketika terjadi kelebihan transfer Rp54 juta per anggota—dari Rp702 juta menjadi Rp756 juta—ia menyalahkan pihak Setjen yang disebutnya salah paham terhadap keputusan pembatalan kenaikan. Menurutnya, dana kelebihan itu sudah ditarik kembali.
Namun argumen tersebut dinilai tak masuk akal. Dalam struktur DPR, Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)—yang seluruh pimpinannya berasal dari kalangan anggota dewan—memiliki kewenangan penuh menyusun anggaran internal. Mustahil Setjen bertindak tanpa sepengetahuan BURT.
Apalagi, klaim bahwa dana reses digunakan untuk kegiatan menyerap aspirasi rakyat di daerah pemilihan juga kerap dipertanyakan. Banyak kalangan menilai sebagian besar dana justru berakhir menjadi “uang saku” pribadi, sementara kegiatan pertemuan rakyat hanya dijadikan formalitas.
Kenaikan sebesar 75 persen ini kian mencolok di tengah upaya pemerintah melakukan efisiensi fiskal dan kondisi ekonomi masyarakat yang belum pulih. Publik pun menilai alasan penyesuaian yang dikemukakan Dasco hanyalah akal bulus politik untuk menutupi kerakusan lembaga yang sejatinya hidup dari uang rakyat.
Soejoedi seolah telah membaca masa depan: gedung yang ia desain mirip kura-kura itu kini benar-benar dihuni oleh para penghuni yang berperilaku seperti cangkangnya sendiri—lamban bergerak, tebal muka, dan pandai menyembunyikan kepala ketika disorot kritik publik.
“Ketika wakil rakyat tak lagi peka pada penderitaan rakyat, maka gedung megah di Senayan hanyalah rumah besar bagi kepura-puraan,” ujar seorang pengamat politik yang enggan disebutkan namanya.
RIki/*