
Bandar Lampung, warga global. Id-— Sengkarut penguasaan kawasan hutan di Provinsi Lampung kembali memunculkan babak baru. Masyarakat adat Marga Buay Pemuka Pangeran Ilir (BPPI) Negara Batin menyuarakan tuntutan keras terhadap rekonstruksi izin konsesi pengelolaan Hutan Register 44 dan 46 yang selama hampir 30 tahun dikuasai oleh PT Inhutani V bersama dua mitranya, PT Pemuka Sakti Manis Indah (PSMI) dan PT Budi Lampung Sejahtera (BLS). Mereka menuntut keadilan atas hak tanah ulayat yang terabaikan dan sistem pengelolaan yang dinilai eksploitatif serta menyingkirkan masyarakat adat sebagai pemilik sah wilayah tersebut.
Tanah Adat Dijadikan Konsesi, Sejarah yang Terhapus
Kawasan Register 44 (Sungai Muara Dua) dan Register 46 (Way Hanakau) bukanlah wilayah kosong tanpa jejak. Sejak tahun 1940, tanah itu telah diserahkan oleh masyarakat adat BPPI sebagai hutan larangan kepada pemerintah kolonial Belanda, bukan untuk dieksploitasi, melainkan dijaga dan dilestarikan. Namun pasca kemerdekaan dan terbitnya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, kawasan itu perlahan dialihkan menjadi area konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Puncaknya terjadi pada 1996, ketika pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan kepada PT Inhutani V tanpa melibatkan masyarakat adat yang merupakan pemilik historis wilayah tersebut. “Selama hampir tiga dekade, kami tak pernah dilibatkan, tak ada musyawarah, bahkan tidak ada sepeser pun kompensasi,” ungkap kuasa hukum masyarakat adat BPPI, Gindha Ansori, SH, MH.di kantornya minggu, 4/8/2025.

Tuntutan Tegas: Rekonstruksi dan Restitusi
Kini, masyarakat adat BPPI Negara Batin yang tergabung dalam aliansi hukum Kantor Gindha Ansori Wayka & Rekan mengajukan permohonan resmi kepada Menteri Kehutanan. Mereka menuntut rekonstruksi izin konsesi, pelibatan masyarakat adat dalam pengelolaan hutan, serta restitusi atas hak-hak mereka yang dirampas selama ini.
“Bukan hanya soal ganti rugi. Ini soal eksistensi kami sebagai masyarakat adat. Kami ingin menjadi pelaku utama, bukan korban abadi dari sistem yang tidak adil,” tegas Gindha Ansori.
Mereka mengajukan empat poin penting sebagai solusi konkret:
Kemitraan Adil: Masyarakat adat dilibatkan dalam pengelolaan HTI, dengan sistem pembagian hasil dan kompensasi tahunan per hektar.
Kompensasi Tertunggak: Perhitungan dan pembayaran ganti rugi sejak tahun 1996 hingga sekarang.
Pengembalian Tanah Ulayat: Sekitar 14.525 hektar tanah yang diklaim sebagai perluasan sepihak oleh PT Inhutani V diminta dikembalikan kepada Marga BPPI.
Penertiban Perambah: Pemerintah diminta tegas memberantas perambah liar dan melibatkan masyarakat adat dalam proses penjagaan kawasan hutan.
Perluasan Sepihak dan Pelanggaran Hak
Masalah semakin kompleks ketika diketahui bahwa kawasan Hutan Register 44 yang awalnya seluas 17.800 hektar kini membengkak menjadi 32.325 hektar. Sebagian besar lahan tambahan tersebut adalah tanah ulayat milik Marga BPPI yang tidak pernah disetujui untuk dijadikan kawasan hutan. Fakta ini, menurut masyarakat adat, adalah bentuk nyata penguasaan ilegal dan pelanggaran hak konstitusional mereka.
“Mereka memperluas wilayah tanpa persetujuan kami. Tanah ulayat kami diambil begitu saja. Ini tidak bisa dibiarkan,” kata salah satu penyimbang adat BPPI.
Negara Diminta Hadir: Antara Hukum dan Ketimpangan
Ironisnya, aturan hukum sebenarnya telah memberi ruang bagi masyarakat adat. Undang-Undang Kehutanan dan berbagai putusan Mahkamah Konstitusi mengakui hak masyarakat hukum adat atas wilayahnya. Bahkan, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 menegaskan larangan penguasaan kawasan hutan tanpa hak. Sayangnya, implementasi di lapangan nihil.
“Negara tidak boleh berpihak pada korporasi besar saja. Masyarakat adat adalah entitas hukum yang sah, bukan subjek yang bisa disingkirkan,” ujar Gindha Ansori.
Harapan untuk Masa Depan
Masyarakat adat BPPI Negara Batin tidak meminta belas kasihan. Mereka menuntut hak yang sah dan diakui undang-undang. Mereka ingin mengelola tanah warisan leluhur dengan tetap menjaga kelestarian hutan dan adat istiadat.
“Rekonstruksi izin konsesi ini bukan akhir, melainkan awal untuk membangun relasi baru yang adil dan bermartabat antara negara, korporasi, dan masyarakat adat,” tutup Ansori.
Jika tuntutan ini didengar dan ditindaklanjuti, kisah kelam marginalisasi masyarakat adat bisa mulai ditutup, dan lembar baru keadilan ekologis serta penghormatan budaya lokal dapat dibuka.