Dulu Takut Melanggar, Kini Takut Menegakkan: Paradoks Pendidikan Zaman Now - Warta Global Lampung

Mobile Menu

Top Ads

Berita Update Terbaru

logoblog

Dulu Takut Melanggar, Kini Takut Menegakkan: Paradoks Pendidikan Zaman Now

Thursday, 6 November 2025
Oleh: Dr. (Cand) Ali Rosad, S.Pd, M.Pd
Pemerhati Pendidikan

Dulu, waktu kita masih duduk di bangku sekolah, ketakutan melanggar aturan adalah bagian dari proses belajar. Kita takut terlambat, takut lupa tugas, takut pada guru yang tegas — bukan karena teror, tapi karena hormat. Disiplin bukan sesuatu yang dipaksakan, melainkan nilai yang ditanamkan. Tapi kini, ketika banyak dari kita berdiri di posisi sebaliknya — sebagai guru — ketakutan itu berubah arah. Bukan lagi takut melanggar, tapi takut menegakkan.

Guru kini hidup dalam ruang pendidikan yang serba sensitif. Satu tindakan mendidik bisa dianggap menyinggung, satu teguran bisa diviralkan, satu upaya pembinaan bisa diseret ke ranah hukum. Paradoks inilah yang menciptakan generasi bingung: murid yang merasa selalu benar, dan guru yang merasa tak punya ruang untuk salah. Dunia pendidikan kita sedang kehilangan keseimbangannya.

Padahal, tanggung jawab pendidikan sudah diatur dengan jelas: di rumah, anak adalah tanggung jawab orang tua; di sekolah, ia berada dalam bimbingan guru dan kepala sekolah. Maka ketika siswa melanggar aturan, guru bukan sedang berkuasa, melainkan menjalankan kewajiban. Namun hari ini, ketika guru menegur, tak jarang orang tua yang justru tersinggung. Pembinaan disalahpahami sebagai pelanggaran hak, dan disiplin dianggap kekerasan.

Ironisnya, sebagian orang tua merasa berhak menilai guru tanpa memahami konteks pendidikan. Jika seorang guru menegakkan aturan dianggap “tidak manusiawi”, apakah membiarkan anak tanpa batas berarti “lebih manusiawi”? Jika anak di rumah dibiarkan merokok, berkata kasar, bahkan merusak, apakah guru boleh memviralkan itu demi “keadilan pendidikan”? Tentu tidak. Karena guru masih memegang etika, sementara sebagian orang tua justru kehilangan refleksi.

Krisis kita hari ini bukan semata di kurikulum, tetapi di kultur. Dunia pendidikan kita sedang digerus oleh budaya sensasi, bukan introspeksi. Semua ingin berbicara, tapi sedikit yang mau mendengar. Semua ingin anaknya berprestasi, tapi enggan memberi ruang bagi disiplin. Maka lahirlah generasi yang pintar secara akademik, tapi miskin rasa hormat — cepat tersinggung, lambat bertanggung jawab.

Pendidikan sejatinya bukan hanya tentang kecerdasan otak, tetapi juga keluhuran budi. Guru bukan hanya pengajar, tapi pembimbing moral. Maka sudah seharusnya masyarakat berhenti melihat guru sebagai “pihak yang harus hati-hati”, melainkan sebagai “pihak yang harus dihormati”. Kritik boleh, tetapi jangan lupa: tanggung jawab juga harus berjalan dua arah.

Jika kita ingin melahirkan generasi berkarakter, kembalikanlah marwah guru pada tempatnya. Dukunglah mereka menegakkan aturan tanpa rasa takut. Karena ketika guru kehilangan wibawa, yang sebenarnya kita korbankan bukan hanya profesinya — tetapi masa depan bangsa.