
Bandar Lampung, warta global.Id—Persoalan lahan seluas 10 hektare yang menjadi lokasi strategis berbagai bangunan pemerintahan di Kabupaten Tulang Bawang kembali mencuat ke permukaan. Tanah yang kini berdiri megah di atasnya kompleks Rumah Dinas Bupati, Rumah Dinas Wakil Bupati, Rumah Dinas Sekretaris Kabupaten, Rumah Dinas Ketua DPRD, SMA Negeri 1 Menggala, serta sejumlah bangunan kantor pemerintahan lainnya itu, ternyata hingga kini belum mendapat kejelasan terkait ganti rugi kepada pemilik sahnya.
Kuasa hukum pemilik tanah, dari Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka & Rekan (Law Office GAW), yang dikomandani oleh Ansori, SH., MH, bersama tim advokat Ari Fitrah Anugrah, SH; Ronaldo, SH; Ramadhani, SH; Angga Andrianus, SH; Deni Anjasmoro, SH; Ana Novita Sari, SH; dan Desi Liyana Ningsih, SH., MH, secara resmi melayangkan surat permohonan fasilitasi penyelesaian kepada Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, yang ditembuskan ke sejumlah lembaga tinggi negara termasuk Presiden RI, DPR RI, dan Menteri Koordinator Bidang Hukum dan HAM, Rabu, 5 November 2025.
Surat bernomor 02080/B/GAW-Law Office/XI/2025 tertanggal 5 November 2025 itu menjelaskan bahwa tanah seluas 10 hektare tersebut merupakan bagian dari lahan seluas 50,375 hektare, yang telah menjadi objek sengketa hukum sejak tahun 1981. Lahan itu dahulu merupakan milik alm. Hanafi Gelar Sutan Nimbang Alam, dan berdasarkan serangkaian putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), dinyatakan sebagai tanah peninggalan keluarga Hanafi yang belum dibagi.
Telah Ada Putusan Hukum Tetap Sejak 1994
Kuasa hukum menyertakan empat putusan pengadilan yang menjadi dasar hukum kuat kepemilikan tanah tersebut, yakni:
Putusan Pengadilan Negeri Kotabumi Nomor: 15/Pdt.G/1987/PN.KTB tanggal 20 Februari 1989.
Putusan Pengadilan Tinggi Lampung Nomor: 22/Pdt/1990/PT.TK tanggal 22 Juli 1991.
Putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor: 2235 K/Pdt/1992 tanggal 16 November 1994.
Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor: 589 PK/Pdt/1999 tanggal 25 Juli 2002.
Keempat putusan tersebut secara konsisten menegaskan bahwa lahan di Umbul Tulung Balak Bawang Beter, Kecamatan Menggala, adalah milik sah keluarga Hanafi. Namun, hingga lebih dari empat dekade, pemerintah daerah belum merealisasikan ganti rugi yang sempat dijanjikan.
Janji Pemerintah Tahun 1997 Tak Pernah Terwujud
Dalam surat permohonannya, tim kuasa hukum juga mengungkap bahwa pada tahun 1997, Bupati Tulang Bawang saat itu, Hi. Santori Hasan, pernah mengeluarkan surat resmi bernomor 593/258/02/97 yang berisi komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan putusan Mahkamah Agung RI dan melakukan pembayaran ganti rugi.
Surat tersebut bahkan menjelaskan bahwa pelaksanaan ganti rugi akan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun 1998/1999. Namun rencana itu urung dilaksanakan tanpa alasan yang jelas.
Sejak saat itu hingga kini, tanah tersebut tetap digunakan untuk kepentingan pemerintahan, sementara hak-hak pemilik tanah tidak kunjung dihormati.
Kuasa Hukum Minta Kemendagri Turun Tangan
Melalui surat permohonannya, Gindha Ansori Wayka & Rekan meminta Kementerian Dalam Negeri RI, khususnya Dirjen Bina Keuangan Daerah, untuk memfasilitasi penyelesaian kasus yang sudah berlangsung selama 44 tahun itu. Mereka menilai bahwa pemerintah daerah telah mengabaikan prinsip keadilan dan pelaksanaan hukum yang sudah berkekuatan tetap.
“Setelah menunggu sejak tahun 1981 hingga 2025, hak klien kami selaku warga negara yang menjunjung tinggi hukum dan keadilan belum juga dipenuhi. Ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan soal penghormatan terhadap hak asasi dan supremasi hukum,” tulis tim kuasa hukum dalam suratnya.
Permohonan tersebut juga ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, Menteri Keuangan, Menteri ATR/BPN, Jaksa Agung, Kapolri, Gubernur Lampung, serta para pejabat terkait di Kabupaten Tulang Bawang.
Desakan Keadilan Setelah 44 Tahun
Kuasa hukum menilai, persoalan ini tidak hanya menyangkut hak individu, tetapi juga integritas pemerintah daerah dalam menegakkan hukum dan menghormati putusan pengadilan. Mereka berharap agar pemerintah pusat turun tangan secara langsung untuk memastikan penyelesaian yang adil dan transparan.
“Kami tidak sedang menuntut sesuatu yang baru, melainkan hanya menagih janji negara yang tertunda selama puluhan tahun. Tanah itu kini menjadi pusat pemerintahan, namun hak pemiliknya diabaikan,” tegas Ansori, SH., MH kepada media.
Jika persoalan ini tak segera ditindaklanjuti, tim hukum membuka opsi untuk mengajukan gugatan baru atau langkah hukum lanjutan, termasuk permohonan eksekusi terhadap aset daerah yang berdiri di atas tanah tersebut.
Sebuah Pengingat Penting bagi Pemerintah Daerah
Kasus ini menjadi cermin bahwa masih banyak warisan masalah agraria dan aset daerah yang belum terselesaikan meski telah diputus tuntas oleh pengadilan. Bagi masyarakat luas, perkara Tulang Bawang ini menggambarkan betapa panjang dan berliku perjalanan mencari keadilan di negeri sendiri, bahkan ketika hukum telah berpihak.
Kini, bola ada di tangan pemerintah pusat. Publik menanti apakah Kemendagri dan lembaga terkait akan menindaklanjuti surat permohonan tersebut, atau sekali lagi membiarkan persoalan ini mengendap tanpa kepastian — sebagaimana 44 tahun terakhir.
