
Oleh : Ali Rosad
Pemerhati Pendidikan
Peristiwa yang menimpa dua guru ASN di SMAN 1 Luwu Utara menjadi cermin betapa sistem hukum dan administrasi kita kadang kehilangan perspektif kemanusiaan. Lima tahun lalu, sepuluh guru honorer belum menerima honor selama sepuluh bulan karena nama mereka tidak tercantum dalam Dapodik. Sebagai respons, kepala sekolah melakukan langkah sesuai mekanisme sosial bermusyawarah dengan guru dan komite sekolah untuk mencari solusi. Keputusan donasi sukarela sebesar Rp. 20.000 per wali murid lahir dari kesepakatan kolektif tanpa unsur paksaan dan dilandasi semangat gotong royong. Solusi itu berjalan dengan baik dan memenuhi fungsi sosial pendidikan; menjaga keberlanjutan proses belajar mengajar serta keberlangsungan hidup tenaga pendidik honorer.
Namun keharmonisan itu berujung pada proses hukum yang tidak proporsional ketika seorang oknum LSM melaporkan adanya dugaan penarikan dana yang dianggap melanggar hukum. Dua guru tersebut Pak Rasnal dan Pak Abdul Muis, diproses secara pidana. Pengadilan Tipikor Makassar awalnya memutuskan keduanya tidak bersalah karena tidak ditemukan unsur korupsi, tetapi kasasi di Mahkamah Agung kemudian menjatuhkan vonis satu tahun penjara. Setelah menjalani hukuman, keduanya masih harus menerima keputusan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai ASN. Proses hukum yang panjang ini menunjukkan bahwa hukum dapat berjalan kaku tanpa mempertimbangkan konteks sosial, fakta musyawarah dan niat baik yang menjadi landasan peristiwa.
Dalam perspektif etika dan tata kelola pendidikan, langkah kepala sekolah tersebut seharusnya dipahami sebagai bentuk tanggung jawab moral. Sebagai seorang yang pernah dan sedang berperan sebagai pendidik, orang tua, pegawai negeri dan pimpinan sekolah, saya memahami bahwa kerja kepala sekolah tidak hanya mengelola administrasi, tetapi memastikan keberlangsungan layanan pendidikan, termasuk memperjuangkan hak-hak guru honorer. Pertanyaannya sederhana namun mendasar adalah ketika sebuah keputusan diambil melalui musyawarah terbuka, disertai dokumen resmi dan dilandasi kepentingan pendidikan, apakah pantas diperlakukan sebagai tindak pidana? Dari titik sinilah hakim diharapkan arif dan bijak dan jaksa dituntut memahami konteks, bukan sekadar mengejar legal formalistik.
Fenomena ini juga menjadi cermin bagi para pemangku kebijakan, lembaga pengawas dan organisasi kemasyarakatan. Kita sepatutnya bertanya apakah kita lupa siapa yang mendidik kita sejak TK hingga SMA? Apakah kita tega menghukum guru yang sekadar berjuang menjaga martabat profesi pendidikan? Keadilan seharusnya tidak sekadar menegakkan aturan, tetapi memelihara nurani publik. Ketika birokrasi daerah belum dapat memberikan solusi, maka harapan tertinggi ditujukan kepada Presiden untuk menegakkan keadilan bagi pendidik bangsa. Semoga perjuangan organisasi guru dan masyarakat tidak sia-sia dan semoga kasus ini menjadi pelajaran moral agar guru, sebagai pilar peradaban bangsa, tidak lagi menjadi korban kesalahan sistem. Guru hebat Indonesia akan selalu berdiri, meski cobaan datang bertubi-tubi
Semoga tulisan ini dibaca Mendikdasmen dan Presiden Prabowo Subianto. Aamiin.
